Kiat Sukses Membangun Kedai Kopi Milenial ala Kawan Saya



“Lur, kira-kira kalau lulus kuliah enaknya ngapain ya?” Begitu tanya kawan saya ketika berjumpa kemarin. Saya cuma menghela nafas sambil menjawab dalam hati, “Yo mboh yo, mbok kiro aku pakmu a?”

Entahlah, menurut saya pertanyaan tengik macam itu tuh harusnya dijawab sendiri.

Dan benar saja, sebelum saya mengungkapkan isi hati tiba-tiba dia melanjutkan dengan jawabannya sendiri, “Tapi dari dulu aku sudah punya pikiran bangun kedai kopi sih.” Saya cukup tercengang dengan ide kawan saya ini, mulai saya tanyakan konsep apa yang akan ia bawa.

Usut punya usut kawan saya ini cukup nganggur dengan kegiatannya selama ini, sehingga ia mengamati perilaku para milenial yang selalu memenuhi kedai-kedai kopi yang ditemuinya. Bayangkan saja, kawan saya ini sampai memberikan tanda di beberapa waktu di mana ia merasa kedai kopi sedang ramai-ramainya atau kebalikannya. Nganggurmu berfaedah sekali, Lur~

Observasi kawan saya ini juga tidak sampai di situ, bahkan ia hafal betul tipe desain kedai sampai produk yang ditawarkan kedai yang harus “ambu arek enom” katanya. Wah mulai tertarik juga saya dengan ambu arek enom ini. Mulailah saya tanyakan kepada seonggok daging nganggur ini. Menurutnya, nuansa ambu arek enom untuk kedainya kelak dapat dijelaskan sebagai berikut:

Konsep Aesthetic

Kawan saya satu ini memang berbeda dengan beberapa kawan lainnya yang setiap harinya bergelut dengan sesama netizen di Twitter. Keseharian kawan saya satu ini bergelut dengan dunia desain interior, maklum doi mengambil jurusan itu di perkuliahannya. Ya walaupun yang digelutinya sekadar tugas dari dosennya.

Nah setelah saya lanjutkan berbincang, ternyata dia sudah memilih konsep yang pas untuk kedainya. Dia akan menerapkan konsep warna monochrome dengan beberapa tipografi filosofis di dinding supaya bisa difoto oleh sobat aesthetic buat story Instagram. Tidak lupa pula kawan saya ini sudah merancang set bangku untuk kedainya. Dan lebih detail lagi, set lampu yang nyaman di mata para sobat live Instagram juga sudah dikonsep lho. Leh ugha~

Relasi Perkopian Duniawi

Jaringan atau relasi memang selalu menjadi kebutuhan dalam segala hal. Ya, bisa dikatakan kawan saya ini bermaksud memanfaatkan teman perkopiannya untuk mengunjungi kedainya nanti. Teman se-perkopiannya dulu diharapkan ngopi di situ biar kelihatan ramai. Ramai tapi nantinya minta harga temen gimana hayo?

Balik lagi, kelihatan “ramai pengunjung” kerap memunculkan rasa penasaran bagi konsumen baru. Mungkin benar, ketika melihat tempat ramai beberapa kemungkinan yang muncul dalam pikiran konsumen adalah kalau nggak produknya enak, suasana nyaman, atau harganya murah. Kalau saya prefer harga murah sih, hhe hhe~

Bayangkan saja ketika sudah buka kedai tapi malah sepi nggak ada pengunjung. Dilihat dari luar bukan seperti kedai kopi, malah seperti toko meubel lho lur.

Rambut Gondrong

Waduh korban film, Mas Ben dan Filosofi Kopi harus bertanggung jawab atas pikiran kawan saya ini. Kopi sama gondrong itu nggak ada hubungannya, Lur. Ya ampun. Dan yang saya herankan, sejak kapan dia mulai berpikir bahwa gondrong menjadi sunnatullah bagi barista kedai kopi? 

Jadi gini, gondrong kerap diidentikkan dengan gejolak jiwa muda. Ya, mungkin benar. Tapi ya nggak gitu juga, dong, malah jadi pertanyaan, emang semua gondrong itu ngerti kopi? Emangnya semua yang ngerti kopi pasti gondrong? Sampai-sampai saya menarik kesimpulan kalau mau ngelamar kerja di kedainya cukup gondrong aja udah, ngerti kopi mah belakangan. Tapi beberapa kedai kopi memang seperti itu, dan ramai hmmm.

Foto Kurt Cobain

Entah kenapa kawan saya yang tidak kenal dengan Kurt Cobain memaksakan diri untuk memasang foto Kurt Cobain lengkap dengan gitar dan rokoknya di tangan. Saya heran kenapa harus Kurt Cobain, kenapa bukan foto Didi Kempot aja yang sekarang digandrungi milenial ambyar sebagai Godfather of Broken Heart?

Anehnya, ketika saya tanya kenapa memilih Kurt Cobain jawabannya cukup singkat dan menggemaskan, “Smeels like teen spirit,” katanya. Walah, Lur. Ini toh maksud dari ambu arek enom, percuma sampean jelasin ngalor-ngidul dari tadi. Kene tak sentil kupingmu, Wedhus!

Tapi ada yang perlu diingat, memulai usaha juga perlu modal, Lur. Sebagai calon pemilik kedai sudah semestinya berpikir sampai ke sana. Di sini mental milenial selalu ditarik ulur. Ya kalau sampean anak konglomerat atau punya pohon duit nggak mikir modal, nggak masalah. Piye arep sukses buka kedai lek nggak duwe modal, Lur? Sekadar mengingatkan.

Saran saya, mending sampean belajar tentang kopi dulu, cari akses supplier bahan baku, alat-alat buat ngolah kopi, dan jangan lupa belajar ngeracik kopi. Jangan sampai nanya “pakai gula apa nggak” waktu nyajikan espresso pada konsumen kek Mas Jody. hhe hhe~


(Tulisan ini pertama kali dimuat di Terminal Mojok pada 13 Januari 2020. Dimuat ulang dalam blog ini dengan tujuan untuk pengarsipan bagi penulis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Historis Bandit-bandit di Jawa 1850-1942

Kopi dan Kontemplasi

Prakapitalisme di Asia