Menilik Pola Ekonomi Masyarakat Desa


Kredit Gambar: Halaman Awal Jurnal

Jurnal
Judul: Perilaku Ekonomi Masyarakat Desa: Kasus Kredit Pedesaan Indonesia
Penulis: Hudiyanto
Tebal: 6 halaman
Penerbit: UNISIA (Journal UII)
Tahun Terbit: 1988

Oleh: M. Shafwan Syafiq

Jurnal ini merupakan jurnal yang ditulis oleh Hudiyanto. Beliau, adalah salah seorang dosen yang juga aktif sebagai staf peneliti pada Pusat Penelitian Pengembangan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM. Beberapa jurnal telah beliau rampungkan yang khusus membahas tentang pedesaan.

Dalam pendahuluan jurnal ini, Hudiyanto menyebutkan segmentasi dalam sebuah kelompok masyarakat desa: masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Segmentasi masyarakat yang termaktub sebagai disparitas mengenai pola pikir dan pola perilaku di antaranya. Pada dasarnya, masyarakat kaya diidentikkan dengan sifatnya yang rasional dan memikirkan kemajuan, sedangkan masyarakat miskin sebaliknya.

Selanjutnya, Hudiyanto lebih menekankan pembahasan tentang masyarakat miskin. Dalam upaya mendeskripsikan masyarakat miskin, ia menggunakan 3 kacamata. Pertama, ia melihat dengan kacamata Boeke yang menyatakan dalam tesisnya bahwa "Orang Jawa miskin". Dalam teorinya, Boeke menyebutkan dualisme dalam suatu masyarakat ekonomi: masyarakat maju dan masyarakat tradisional. Boeke menganggap bahwa masyarakat maju adalah masyarakat yang dinamis, sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang statis.

Bagi Boeke, masyarakat ekonomi maju adalah masyarakat yang rasional dalam menghadapi masalah ekonomi dan menggunakan ekonomi uang, bahkan Boeke juga menyebutkan bahwa kelompok satu ini adalah kelompok masyarakat ekonomi modern. Di lain sisi, Boeke menjabarkan mengenai masyarakat tradisional yang dideskripsikan sebagai masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi sendiri dan  mengutamakan sistem barter, yang dikatakan Boeke hal tersebut dikarenakan sifatnya yang statis. Masyarakat Statis inilah yang menjadi masyarakat miskin di pedesaan.

Kacamata kedua, Hudiyanto menggunakan kacamata Clifford Geertz. Dalam kasus ini, Clifford Geertz menyangkal teori yang dilontarkan oleh Boeke. Clifford Geertz menganggap bahwa memang benar masyarakat tradisional bersifat statis, tetapi hal tersebut disebabkan penjajahan Belanda. Sehingga, masyarakat tradisional selalu memandang suatu perubahan yang diprogramkan pemerintah dengan sikap hati-hati. Masyarakat tradisional enggan menanggung resiko yang muncul dari setiap perubahan.

Selanjutnya, kacamata James C. Scott menambah gamblangnya sifat statis masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional cenderung menolak teknologi dengan sifat hati-hatinya. Dengan contoh kasus masyarakat tradisional yang lebih memilih tetap menggunakan ani-ani dan tidak menggunakan sabit. Padahal penggunaan sabit lebih menguntungkan dalam segi efisiensi maupun hasil yang akan didapatkan. Tampak tidak rasional bagi pihak eksternal petani. Sebaliknya, sangat rasional bagi petani sendiri: "Daripada tetangga hidup melarat, lebih baik tidak efisien dengan teknologi lama, tetapi semua orang bisa menikmati".

Mulai menuju pembahasan, Hudiyanto merefleksikan "Ketidak-rasionalan" pola pikir masyarakat desa dalam contoh kasus diatas pada sistem kredit yang dilakoni oleh masyarakat desa. Disebutkan dalam lembaga kreditur: lembaga informal dan resmi. Didukung pula dengan diterapkannya sistem ekonomi yang bersifat dualistis, yang membagi dua dimensi status ekonomi masyarakat: masyarakat ekonomi lemah dan masyarakat ekonomi kuat. Pastinya dalam penanganannya akan berbeda pula. Hudiyanto menyebutkan bahwa kebijakan semacam ini adalah kebijakan yang diskriminatif.

Bukti perbedaan perlakuan dari keduanya dapat dilihat dari sistem perkreditan. Mulai dari munculnya bank resmi yang beroperasi secara perbankan, muncul juga bank yang beroperasi secara tidak konvensi bank. Hingga muncul UU Perbankan No. 14 Tahun 1976 yang mengatur seluruh perbankan di Indonesia. Tidak yakin kebijakan itu akan berhasil, pemerintah membentuk lembaga nonperbankan untuk mengurusi kredit masyarakat. Pemerintah bermaksud menghindarkan masyarakat dari jeratan lembaga informal dan ilegal yang berkembang di masyarakat (red: rentenir, bank-bank, dan pelepas uang lainnya).

Beberapa penelitian dipaparkan dalam jurnal disertai dengan data-data yang relevan. Faktanya, masyarakat tradisional masih tergantung pada lembaga informal yang notabene menetapkan bunga yang jauh lebih tinggi. Dalam jurnal, disebutkan bahwa petani
rela membayar bunga yang ditetapkan oleh lembaga informal bahkan rela membayar lebih dari kewajiban yang seharusnya mereka penuhi. Alasan yang paling rasional adalah ketidakmampuan lembaga formal dalam menjangkau masyarakat secara langsung.

Selanjutnya, ikatan kekeluargaan turut menjadi alasan masyarakat tradisional lebih memilih lembaga informal. Lembaga informal melakukan politik "Jemput bola" dengan mendatangi antar rumah masyarakat. Membangun empati terhadap warga menjadi salah satu cara yang cukup efektif. Salah satu kasus: rentenir di Jepara terkenal "Dermawan" karena sering memberi sumbangan berupa sembako ketika masa paceklik. Hal tersebut jelas berbeda dengan lembaga resmi, masyarakat harus mendatangi kantor pada jam-jam yang telah ditentukan.

Kehormatan dan harga diri merupakan hal yang selalu dijunjung tinggi masyarakat desa. Bagi masyarakat produktif, mendatangi kreditur bukanlah suatu masalah. Tetapi bagi masyarakat konsumtif merupakan satu masalah besar, karena ia akan dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi lembaga resmi mereka baru akan mendatangi masyarakat ketika mereka tidak menyetor uang kredit melebihi waktu yang ditentukan. Sedangkan lembaga informal akan selalu mendatangi masyarakat, tidak selalu menagih, tapi menawarkan peminjaman uang lagi.

Kesimpulan

Kesimpulan ini merupakan analisis saya dalam menanggapi jurnal "Perilaku Ekonomi Masyarakat Desa: Kasus Kredit Pedesaan Indonesia". Mengaca dari teori Boeke yang merujuk penelitiannya pada konsep masyarakat agraris, serta hasil penelitian tertera dalam jurnal, maka saya simpulkan: objek kajian adalah masyarakat desa khususnya petani.

Jika diartikan dalam Bahasa Inggris, terdapat istilah petani dalam kajian sosial: peasant dan farmer yang di antara keduanya memiliki makna yang sangat berbeda. Istilah "peasant" digunakan Eric Wolf (1955) ketika merujuk pada produsen pertanian yang tujuan utamanya ialah subsistensi, memproduksi produk pertanian semata untuk bertahan hidup dan mempertahankan status sosial mereka. Istilah "peasant" sempat muncul pada akhir abad pertengahan dan awal abad pencerahan, yang diartikan sebagai orang miskin pedesaan, orang biasa, maupun orang sederhana, yang tidak harus selalu terlibat dalam pertanian (Edelman, 2013). Sebaliknya, "farmer" dimaknai dengan mereka yang memproduksi produk pertanian dengan orientasi untuk melakukan re-investasi dan mengekspansi usaha produksinya itu, sederhananya: akumulasi.

Hemat saya, masyarakat ekonomi yang termaktub sebagai masyarakat desa yang statis adalah petani dalam artian "peasant". Sehingga nalar ekonomi kapitalistik memang tidak bisa menjangkau apa yang sudah mereka jalani sebelumnya. Menurut saya, perlu beberapa pendekatan ditambahkan lagi guna mengkaji varian lainnya. Aspek Sosio-historis, realitas material-ekonomis, dan lain sebagainya juga memungkinkan untuk ditinjau dalam kajian lebih lanjut.

***

Kepustakaan

Edelman, M. 2013. “What is a peasant? What are peasantries? A briefing paper on issues of definition”, Paper presented at United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas, Geneva, 15-19 July.


Wolf, E.R. 1955. “Types of Latin American Peasantry: A Preliminary Discussion.” American Anthropologist 57(3). Diakses di https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1525/aa.1955.57.3.02a00050

Link Akses Jurnal: 

Komentar

  1. Kesimpulan yang menarik. Berdasarkan simpulan tersebut agaknya perlu lebih jauh dalam menklasifikasikan perkembangan desa, sebab tentulah terdapat perbedaan di antara kesemua kelas desa. Pada desa Swasembada bahkan "peasant" akan menjadi golongan minoritas, menilik dari kompleksitas sistem sosial hari ini. Sebut saja pada kelurahan di kawasan urban, apakah sistem tradisional pada daerah tersebut tetap kerap terjadi?

    BalasHapus
  2. Ulasan yang menarik. Pada konteks sikap "peasant" dimana proses produksinya sekedar untuk subsistensi atau mempertahankan kelangsungan hidup-nya benar banyak masyarakat pedesaan yang terjerat dalam kondisi tersebut. Lantas apakah berarti para "peasant" tersebut dapat dipastikan akan selalu terjerat lembaga informal, sebab sesuai yang Cliffort Gertz sebutkan di atas, masyarakat tradisional enggan menanggung resiko yang ada dalam setiap perubahan, dalam hal ini "peasant" adalah masyarakat tradisional tersebut. Artinya, dengan kultur peasant pedesaan yang sedemikian rupa kehidupan mereka cenderung statis serta realistis dalam menyikapi hidup, serta tentunya nilai menyoal sistem hutang-piutang cukup mudah untuk dipahami dan terjerat hal tersebut berarti telah terjadi perubahan dalam kehidupan peasant secara individual. Jadi, masihkah dapat dikatakan bahwa peasant pasti terjerat lembaga informal mengingat tujuan produksi mereka sekedar untuk subsistensi dan bukan meningkatkan taraf hidup?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Historis Bandit-bandit di Jawa 1850-1942

Kopi dan Kontemplasi

Seni Hidup Crazy Ala Sofyan Sauri