Kopi dan Kontemplasi

Kredit Foto: Dokumen Pribadi

Beberapa jam yang lalu, notifikasi pesan muncul dari smartphone yang saya genggam. Pesan dari seorang kawan berisikan ajakan ngopi malam ini. Saya yakin dia sedang dilanda kesepian atau bahkan kebingungan. Jujur, dia jarang sekali mengajak saya ngopi sebelumnya, jadi wajar kalau saya berfikiran demikian. Bila saya jabarkan, kurang lebih seperti ini percakapan online kami:

A: "Ayo ngopi", ajak kawan saya itu.

B: "Kapan"

A: "Ntar malam bisa?"

B: "Ayo", saya mengiyakan karena memang tidak ada agenda untuk malam ini.

A: "Dimana tempat yang enak buat ngobrol?"

B: "Warkop biasanya boleh", balas saya karena saya menghindari keruwetan memilih tempat.

Pukul 19:00 saya sudah bersiap untuk berangkat, sembari mengabari kawan saya supaya tidak saling tunggu. Tidak lama, saya sudah sampai di warung yang telah kami sepakati. Ternyata kawan saya sudah menempati meja paling pojok sambil menghisap rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Usai memesan kopi, saya berjalan ke arahnya sambil menertawakan raut mukanya yang sedikit berbeda.

B: "Jarang-jarang ngajak ngopi duluan, kenapa cuk?", sapa saya sambil sedikit memancing obrolan.

A: "Sabar, tunggu kopimu datang dulu"

Tidak lama kemudian penjaga warung menghampiri meja kami sambil membawakan kopi pesanan saya.

B: "Nah, ini sudah datang kopinya"

A: "Aku galau cuk haha", ucapnya dengan sedikit tertawa.

B: "Haha galau masalah apa?", balas saya dengan tertawa pula karena firasat saya benar.

A: "Aku tadi ketemu sama omku"

B: "Terus?"

A: "Dia tanya, gimana kuliahku lancar atau engga. Tapi, tiba-tiba dia ngajak aku sedikit mikir"

B: "Mikir apa?", saya bertanya lagi sambil terheran-heran.

A: "Omku sedikit ngajak aku mikir, kira-kira besok setelah lulus aku mau jadi apa"

B: "Jadi orang lah, mau jadi apa lagi", celetuk saya yang tanpa sadar merangsang saya untuk berpikir juga.

A: "Ya tau kalau itu, maksudnya orang yang seperti apa?"

Pertanyaan itu membuat kami berdua sedikit tidak banyak bicara untuk sejenak. Kami sama-sama berpikir tentang pertanyaan rumit itu. Pertanyaan yang sulit, kami tak menemukan satu jawaban yang tepat untuk menjawabnya.

B: "Susah sih, itu pertanyaan salah sebenarnya", saya memulai obrolan lagi.

A: "Kok bisa?"

B: "Ya gimana bisa jawab masalah itu, pertanyaan itu mempertanyakan hal yang belum terjadi"

A: "Iya juga sih, tapi kan ngga ada salahnya buat modal kontemplasi kalau lagi nganggur"

B: "Memang, tapi selamanya pertanyaan itu ngga akan bisa dijawab, kalaupun memaksa jawab juga sifatnya spekulatif"

A: "Andai aku seorang ahli nujum", balas dia sambil tertawa.

B: "Matamu!!", balas saya sambil tertawa lepas.

A: "Lah, kenapa?".

B: "Jadi sarjana aja susah, pake mikir jadi ahli nujum"

A: "Oh iya aku lupa, banyak mata kuliahku yang harus ngulang", keluhnya sambil menggaruk ubun-ubunnya.

B: "Nah, mending itu saja yang kamu pikirkan untuk sekarang"

A: "Ya terimakasih sarannya", jawabnya singkat.

B: "Kalau katanya Sartre sih, adalah terlalu dini untuk mendeklarasikan diri selama darah masih mengalir di nadi, jawab aja gitu kalau ketemu pertanyaan serupa", closing statement dari saya sambil tertawa.

Usai pembahasan, kawan saya mengambil smartphone di hadapannya. Sambil tersenyum, ia mengajak saya bermain game. Benar-benar unik manusia satu ini. Mungkin memang benar kata Mas Pram: "Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya".

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Historis Bandit-bandit di Jawa 1850-1942

Prakapitalisme di Asia